
KONFRONTASI-Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Laksamana Madya TNI Angkatan Laut (AL), Aan Kurnia, mengatakan manuver China cenderung semakin provokatif di Laut China Selatan (LCS).
Untuk itu, Aan mengatakan Indonesia mendukung keputusan Permanent Court of Arbitration atau Mahkmah Arbitrase terkait sengketa Laut China Selatan karena adanya eskalasi di perairan itu.
"Sikap Indonesia ini menunjukkan keseriusan Indonesia terhadap meningkatnya eskalasi di Laut China Selatan belakangan ini yang dipicu dengan sikap asertif China dalam bentuk implementasi kegiatan-kegiatan yang cenderung provokatif," kata Aan dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (10/6).
"Seperti Blue Sea Campaign 2020, pelarangan penangkapan ikan di Paracel, penetapan dua distrik dan penamaan 80 gugusan pulau karang dan fitur lainnya di Laut China Selatan," Aan menambahkan.
Persoalan yang kian memanas di perairan yang menurut hitungan sebenarnya masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia ini memang berpotensi menimbulkan konflik dengan China. Konflik terjadi dalam hal yurisdiksi pengelolaan sumber daya alam berupa sumber daya perikanan.
Tak hanya dengan China, persoalan di perairan ini juga makin rumit dengan adanya permasalahan batas di Laut Natuna Utara antara Indonesia dengan Vietnam yang belum selesai.
Saat ini Indonesia dan Vietnam memang sedang mencoba menyelesaikan permasalahan tumpang tindih batas Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah perairan itu. Bahkan seharusnya kata dia, kedua pihak menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan apapun.
"Tetapi pada kenyataannya, saat ini kapal pemerintah Vietnam yaitu kapal pengawas perikanan dan kapal coast guardnya selalu hadir bersama dengan kapal ikan Vietnam di wilayah tersebut," kata Aan.
Hal ini berbanding terbalik dengan Kapal-kapal milik Indonesia. Diakui Aan, penegak hukum laut baik dari TNI, Bakamla, maupun KKP kalah unggul dari Vietnam untuk selalu berada di perairan Natuna mengawal kapal ikan milik Indonesia.
"Ini tentu berdampak pada turunnya daya gentar penegakan hukum di Laut Natuna Utara sehingga berpotensi meningkatkan IUU Fishing oleh kapal-kapal ikan asing Vietnam dan bahkan kapal ikan China," kata dia.
Maka untuk menyelesaikan segala sengkarut perairan di wilayah itu, diperlukan strategi dan insentif untuk mendorong eksploitasi dan kehadiran kapal ikan Indonesia di Laut Natuna Utara.
"Juga perlu strategi serta tata kelola dan kolaborasi untuk mendorong peningkatan kehadiran simbol dua negara berupa aparat penegak hukum di laut Natuna Utara," tambah dia.
Kendala Soal Pengamanan
Dalam kesempatan itu, Aan mengungkapkan sejumlah kendala dalam hal pengamanan di Laut China Selatan.
Persoalan batas-batas wilayah dengan beberapa negara tetangga, misalnya Vietnam dan beberapa negara lain bisa berujung pada konflik kedaulatan di wilayah tersebut. Aan menilai banyak persoalan dan potensi konflik yang muncul justru tak diimbangi dengan kemampuan aparat penegak hukum Indonesia di wilayah ini setiap saat.
"Kemampuan hadir 24/7 [setiap saat] ini belum mampu diimbangi oleh aparat penegak hukum Indonesia baik oleh TNI AL, KKP dan Bakamla yang memiliki kewenangan berdasarkan wilayah yurisdiksi nasional di ZEEI," kata Aan.
Ketidakhadiran aparat penegak hukum setiap saat di wilayah perairan Laut Natuna Utara ini, kata Aan, berdampak besar pada penurunan daya gentar [deterrence effect] penegakan hukum di Laut Natuna Utara.
Ini juga berdampak pada potensi peningkatan kasus penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal ikan asing seperti Kapal ikan berbendera Vietnam dan bahkan kapal ikan China.
"Daya gentar penegakan hukum di Laut Natuna Utara turun. Kapal-kapal asing masuk melakukan IUUF [kasus penangkapan ikan ilegal] di wilayah yurisdiksi Indonesia," kata Aan.
Padahal, sumber daya perikanan di Laut Natuna Utara berpotensi besar yang seharusnya bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Namun, Aan menambahkan, hal itu justru tidak terjadi. Sebaliknya, sumber daya perikanan dari wilayah teritorial Indonesia itu dinikmati oleh negara lain dengan cara ilegal fishing.
"Selain karena IUUF [penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing] juga karena tidak dapat hadirnya kapal ikan Indonesia sendiri di wilayah tersebut," kata Aan.
Aan menilai kapal ikan Indonesia yang berasal dari daratan Natuna tidak memiliki kapasitas yang mumpuni untuk melakukan eksploitasi perikanan di Laut Natuna Utara.
Rata-rata kata dia, kapal ikan lokal dari Natuna berukuran kecil sekitar 5-10 GT (Gross Tone). Kapal-kapal ini juga menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat nelayan setempat. Untuk itu kata Aan, perlu strategi dan insentif untuk mendorong eksploitasi dan kehadiran kapal ikan Indonesia di Laut Natuna.
"Dan perlu strategi serta tata kelola serta kolaborasi untuk mendorong peningkatan kehadiran simbol-simbol negara berupa aparat penegak hukum di Laut Natuna Utara," kata Aan.[mr/cnn]