
JAKARTA-Awalnya pemecatan RUhut di Demokrat sebagai jubir. Kita harus semangati si Raja Minyak Ruhut Sitompul yang menantang SBY agar berani memecatnya. Itu tantangan Ruhut yang menyebar di sosmed beberapa jam setelah ia dicopot SBY dari jabatan Koordinator Jubir Partai Demokrat setelah Ruhut membela Ahok. Satu lagi tokoh yang tumbang oleh Ahok.
Rupanya nahasnya Ruhut ada di Ahok. Jurus jilat SBY-nya kali ini tak mempan. Biasanya last suffer, kali ini last safering. Tak ada makan malam seperti biasanya, tapi rasa sakit terakhir.
Ruhut memang makan malam dengan SBY setelah sms SBY yg mengeras itu. "Saudara saya berhentikan dari juru bicara!" Tamat sudah karir Raja Minyak ini. Ruhut harus segera menyiapkan sekoci darurat.
Upayanya untuk mengalihkan persoalan gagal berat. Ia mencoba mengaburkan masalahnya bahwa hal tersebut adalah upaya para pembisik yang membenci dirinya. Dia lalu sadar, bahwa masalah Ahok memperoleh pantauan langsung dari SBY.
Bagaimana pun, SBY seorang nasionalis. Dia paham negara ini sedang berhadapan dengan Cina. Sedang kiblat politik SBY adalah ke Barat. Berlawanan dengan kiblat politik Presiden Jokowi yang ke Timur, Cina. Sementara Ahok adalah mercusuar politik OBOR (on belt on road one China) yang kadung masuk cukup dalam selama dua (2) tahun rezim Jokowi.
Setelah gaduh invasi Cina, sejak issu komunisme, imigran Cina, investasi Cina, modal AIIB yang diinisiasi Presiden RRC Xi Jinping yang ditandatangani Jokowi 24 Oktober 2014, Presiden Jokowi mencoba menyeimbangkan dengan menaruh Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawaty menjadi Menteri Keuangan.
Itu petanya. Sudah dapat dibaca dengan jelas melalui kasus tersungkurnya si Poltak Raja Minyak. Pribumi harus merangkul SBY. Seperti kata pepatah, musuhnya musuhku adalah temanku.
Neolib memang sudah masanya berlalu, dua krusial point dari 10 unit item Washington Consessus itu sudah berakhir digantikan oleh MEA. Dan kata Hatta Taliwang, ada pernyataan SBY sudah bukan neolib.
Tapi tak mudah. China atau Cina atau RRC takkan diam lapaknya digusur oleh Barat. Tiga bulan ke depan, amati saja bagaimana perlawanan Cina. Menurut para analis, akan mengeras, yang berarti ambisi OBOR untuk menaruh orangnya di DKI 1 dan RI 1 kian habis-habisan.
Tak syak lagi, Barat akan menjagokan Sri tak hanya untuk RI 1, tapi juga menjadi Srigala. Juga habis-habisan. Itulah sesungguhnya yang disebut asymetric war atau perang asimetris di Asia Tenggara. Masyarakat Indonesia ingin politik bebas aktiv, dan itu hanya bisa dipimpin tokoh cerdas dan berani serta beintegritas, serta berpendidikan tinggi dari Indonesia dan AS/Barat agar ''bisa perang wacana dan negosiasi'' dengan kekuatan-kekuatan global.. (Ibnu Kalsum*)