
BEIJING- Sebelum kebijakan One Belt One Road (OBOR)-nya XI Jinping terbit, tidak boleh dipungkiri, bahwa embrionya adalah String of Pearls, yaitu strategi China guna mengamankan jalur ekspor-impornya terutama suplai energi (energy security) dari negara atau kawasan asal hingga ke kawasan tujuan.
Target jalur yang diincar ialah bentangan perairan dari pesisir Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintas Samudera Hindia, Laut Arab, Teluk Persia, dan lainnya, sehingga bila dibaca dalam peta, terlihat seperti untaian mutiara atau gambar kalung (Pearls).
Strategi ini, selain mempunyai konsekuensi dibutuhkanya militer modern yang progresif, juga membutuhkan akses lapangan terbang dan pelabuhan-pelabuhan laut sebagai penyangga. Dan sudah barang tentu, kelak infrastruktur ini bisa dijadikan fasilitas militer memadai.
Ada beberapa pelabuhan yang telah berdiri seperti di Pulau Hainan misalnya; atau landasan terbang darurat di Pulau Woody, di Kepulauan Paracel, kontainer fasilitas pengiriman di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan di Sittwe, Myanmar; pembangunan basis angkatan laut di Gwadar, Pakistan; pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di Xinjiang; fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala dekat Selat Malaka dan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, dan lain sebagainya.
Yang menjadi hambatan utama dalam implementasi String of Pearls kemarin adalah bercokolnya kapal-kapal perang AS dan sekutu (Armada ke 7 Amerika) di Singapura. Artinya, jika kelak terjadi friksi terbuka antara Amerika versus China sesuai ramalan Samuel P. Huntington dalam buku The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (Benturan Antar peradaban dan Masa Depan Politik Dunia), maka bakal terjadi hambatan besar bagi hilir mudik kapal-kapal China di Selat Malaka.
Oleh karena itu dalam menghadapi kendala tersebut, Xi Jinping melahirkan OBOR sebagai penyempurnaan String of Pearls. Dan tak boleh disangkal, bahwa salah satu cabang OBOR-nya Xi Jinping tidak ada jalan lain adalah melintas di selat-selat dan perairan Indonesia.
.
Kenapa? Sebab bila Selat Malaka diblokade oleh Amerika kelak, maka alternatif jalur paling singkat menuju Samudera Hindia, Laut Arab, dan lain-lain guna mengamankan jalur suplai energi sesuai rute String of Pearls dulu adalah Selat Sunda, atau Selat Lombok dan lainnya.
.
Mungkin inilah jawaban sementara, kenapa China sangat bernafsu membangun berbagai infrastruktur baik pelabuhan laut maupun bandara udara di negeri tercinta ini, karena selain alasan ekonomi betapa Indonesia merupakan lintasan Sealane of Communications (SLOCs) yakni jalur perdagangan dunia yang tak pernah sepi akibat posisi silang di antara dua benua dan dua samudera, juga kemungkinan besar akan digunakan sebagai fasilitas militer jika kelak meletus friksi terbuka dengan Amerika sesuai prediksi Huntington.
Itu lah kenapa China sangat bernafsu membangun infrastruktur di Indonesia sebagai pengamanan jalur lautnya mengingat China hari ini berdiri sebagai negara pemasok kebutuhan dunia, maka jalur distribusi harus diamankan. Maka tak heran jika penguasaan di Indonesia akan di dominasi oleh aseng yakni permainan China yang bersaing dengan Asing dalam hal ini adalah barat.
Maka kebijakan penguasa rezim Jokowi yang menjadi pelayan kepentingan Aseng harus di sadari oleh rakyat Indonesia dan menjadi koreksi penuh atas penjajahan serta exsploitasi Sumber Daya Alam yang mengakibatkan ketimpangan dan kesengsaraan.
Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim harus segera menyadari hal ini, jangan sampai terus menerus negeri nyiur melambai ini kian dicengkeram para cukong imperialisme gaya baru.
Oleh: Bambang Pranoto Bayu Aji
Peneliti di Civilization Analysis Forum (CAF)