
KONFRONTASI- China dan Amerika Serikat sedang perang dagang. Ancaman apapun, baik dari dalam maupun dari luar yang membahayakan kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara, juga berbahaya bagi keselamatan bangsa. Kita sudah diingatkan (wake-upcall) oleh Prabowo Subianto tentang skenario (novel Ghost Fleet) bahwa Indonesia akan tidak ada lagi di peta dunia pada tahun 2030.
oleh Eddy Junaedi, analis Nusantara.news
Potensi seperti itu, ada saja kemungkinannya terutama pada saat kepemimpinan nasional lemah dan krisis ekonomi terjadi seperti saat ini. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan berbagai golongan, rentan terhadap perpecahan dan konflik horizontal. Di saat Perang Proxy terjadi antara Cina vs. Amerika Serikat (AS) tentu saja Indonesia secara geostrategi sangat potensial untuk terseret konflik.
Isu utama proxy war adalah: Energy Security (ketahanan energi) dan Food Security (ketahanan pangan). Indonesia bukan sasaran utama untuk energy security, tetapi sangat potensial sebagai lumbung pangan dunia. Dalam konteks OBOR (One Belt One Road), Cina berharap dengan ‘Jalur Sutera Baru’-nya, Indonesia sebagai partner di bidang Food Security. Skenario elite dunia menyatakan bahwa tahun 2030 akan terjadi krisis energi karena menipisnya stok energi fosil. Sementara stok terbesar ada di tangan AS, dan saat ini AS sudah menemukan energi alternatif, yakni Shale Gas. Hal ini membuat Cina ketakutan, yang penduduknya diperkirakan berjumlah 1,8 miliar pada tahun 2030.
Kebutuhan energi dan makanan untuk keselamatan rakyat adalah ancaman terbesar bagi Cina. Pada saat itu, diproyeksikan adanya kelangkaan energi sehingga energi menjadi mahal, maka terjadilah krisis secara global. Harga pangan ikut melonjak sehingga negara yang tidak mempunyai stok pangan yang cukup akan terancam kelaparan, persis seperti yang terjadi pada medio 1970-an pada era Malaisie, dimana rakyat di Afrika banyak yang mati karena kelaparan. Untuk itu, Cina melalui skema OBOR, menyediakan dana USD 1,5 triliun.
Cyber War bagian dari Perang Dagang
Hubungan antar-bangsa terhubung lewat jaringan broadband global, yang berimplikasi bobot tugas dalam politik luar negeri saat ini sangat berat. Politik yang bebas aktif dengan geopolitik terukur menjadi sirna karena dengan IT terjadi dunia borderless (tanpa batas). Dengan satelit, tidak ada batas ruang dan waktu karena bisa menembus ruang pribadi sekalipun, di mana pun dan siapa pun. Tren perdagangan dunia pun berubah dari transaksi bisnis biasa menjadi transaksi online, serta pembayaran pun menggunakan uang digital. Sehingga tidak perlu lagi ada bea dan cukai (custome clearance) nantinya, tidak terjangkau audit perpajakan. Perdagangan global secara online dan sistem dagang digital secara massif akan menjadi kenyataan di tahun 2030. AS dan elite Barat akan meruntuhkan dominasi dagang Cina dengan teknologi cyber. Tidak heran, jika Alibaba.com (Jack Ma) menjadi “pahlawan” bagi rakyat Cina karena telah mempersiapkan perang dagang untuk masa depan.
Pergeseran transaksi bisnis
Perdagangan tradisional dengan pertemuan fisik menjadi transaksi online, menuntut keamanan dan kenyamanan bagi konsumen. Negara harus mengantisipasinya, sebab dalam perdagangan online kedaulatan Indonesia bisa terancam, jika Public Key Infrastructure tidak disiapkan, agar mampu menata dan memantau perdagangan online di masa depan. Dalam mengatasi konflik transportasi online saja Pemerintah sudah kelabakan apalagi nanti, pada saat terjadi full globalisasi online.
Saat ini, penentu pembayaran online masih di luar negeri. Kita bersyukur Bank BNI (Bank Negara Indonesia) memunculkan YAP (payment gateway/gerbang pembayaran) dengan tiga opsi pembayaran: melalui debit, kartu kredit, dan e-money. YAP (Your All Payment) menjadi bagian dari perdagangan online.
Pada saat globalisasi online menjadi gaya hidup dunia, negara seolah tanpa batas. Ketahanan nasional dan ancaman kedaulatan pun menjadi kenyataan. Sesuatu akan mudah dikirim dan diakses antar-negara, antar-manusia, antar-perusahaan, antar-organisasi melalui broadband global tersebut. Kita bisa saja kehilangan privasi, karena seiring kecanggihan teknologi, juga berkembang cyber crime atau kejahatan siber. Baru-baru ini, kita diingatkan dengan kejadian hilangnya uang di rekening sejumlah nasabah Bank BRI (Bank Rakyat Indonesia) secara tiba-tiba dan sulit dilacak karena cyber crimes (kejahatan dunia maya) semakin canggih.
Diharapkan, Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membangun sistem pertahanan dan pengamanan cyber agar keamanan dan kenyamanan masyarakat tetap dapat terlindungi. Menentukan kebijakan dan strategi penataan jaringan broadband nasional sebagai gerbang cyber NKRI adalah tantangan Presiden RI tahun 2019 nanti.
Secanggih apapun teknologi, masalah kedaulatan negara tetap bersifat absolute (mutlak). Namun, suka-tidak suka saat ini telah terjadi globalisasi online. Indonesia harus menyiapkan infrastruktur, regulasi dan tataniaga, serta tata cara penetapan cyber online.
Tidak salah jika dikatakan bahwa di era proxy, ancaman non militer saat ini lebih besar dari pada ancaman militer (fisik). Tanpa kemampuan mempertahankan diri dari ancaman, suatu bangsa dan negara tidak dapat mempertahankan eksistensinya akibat pergeseran sifat ancaman melalui dunia maya (cyber).
Permasalahan ketahanan nasional menjadi sangat kompleks, tidak bisa hanya menjadi beban TNI (Tentara Nasional Indonesia) tetapi sudah harus lintas kementerian serta lembaga, dan Presiden harus memahami itu semua.
Ancaman non-militer
Kesenjangan ekonomi berada pada peringkat pertama yang mengancam kedaulatan negara saat ini, data OXFam Internasional menyatakan, bahwa aset 4 orang terkaya di Indonesia sama dengan 100 juta orang miskin di Indonesia.
Pertumbuhan 40 orang terkaya di Indonesia 5 kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Lebih tragis lagi, menurut majalah Forbes yang sering membuat peringkat orang terkaya di dunia, aset keluarga Djarum sebagai orang terkaya Indonesia telah mencapai Rp 567 triliun. Mereka, dengan bunganya saja mencapai 1.000 kali rata-rata belanja orang Indonesia, dan butuh waktu 22 tahun untuk menghabiskan kekayaannya jika berbelanja USD 1 juta (Rp 13,7 miliar) per hari sekalipun.
Kesenjangan ekonomi Indonesia diperparah karena orang terkaya didominasi etnis Cina. Dalam peringkat 10 orang terkaya di Indoenesia versi Forbes, hanya menempatkan Chairul Tanjung sebagai pengusaha pribumi.
Kesenjangan ekonomi bergesekan dengan sentimen SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), yakni pribumi dan non pribumi yang sempat eskalatif saat kasus penistaan agama Islam oleh Ahok pada Pilkada DKI Jakarta, 2017. Kesenjangan ekonomi, paling rawan mengancam stabilitas nasional.
Faktor Kedua adalah Kohesi Sosial. Ekses Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 adalah terjadinya politik identitas dengan sentimen SARA. Kita mengetahui peristiwa kerusuhan Mei 1998, dimana etnis Cina menjadi korban, dan pada saat yang sama juga terjadi pengemplangan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang dominan dilakukan oleh etnis Cina. Kasus ini termasuk yang belum tuntas, dan sebagian pelakunya masih menjadi buron.
Pemerintahan selama era reformasi (20 tahun) tidak mampu menuntaskan kasus tersebut sehingga terjadilah warisan sandera-menyandera secara politik, karena BLBI dituduhkan kepada rezim Megawati Soekarnoputri (2001–2004). Lalu digantikan Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014) yang juga tersandera oleh kasus Bank Century dan Hambalang. Sebelumnya, Golkar dan keluarga Soeharto dengan isu KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) pada era Orde Baru.
Karena pelaku ekonomi didominan etnis Cina, kecemburuan sosial sangat rentan terjadi, dan menjadi penyebab ancaman non militer, khususnya isu non toleransi berbau SARA.
Faktor Ketiga adalah Korupsi. Hadirnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diharapkan mampu mengatasi penyakit sosial yang sudah menjadi budaya, ternyata belum membawa hasil sesuai yang diharapkan. Perilaku koruptif justru malah semakin subur. Dengan adanya politik transaksional, Kepala Daerah Tingkat I dan II, anggota DPR yang membiayai politiknya agar terpilih dengan mahal, berbuntut pada tindakan korupsi ketika mereka menjabat. Sudah lebih dari 50% wilayah tingkat II, kepala daerahnya terlibat korupsi. Sekitar 70% Kepala Daerah Tingkat I menjadi tahanan KPK. Indonesia sudah memasuki tahap darurat korupsi, sehingga perlu penanganan khusus secara nasional. Yang pasti, KPK tidak bisa menjadi lembaga satu-satunya dalam pemberantasan korupsi.
Seorang Presiden pada tahun 2019 harus berani mengambil langkah signifikan dalam pemberantasan korupsi agar Indonesia keluar dari krisis multidimensi.
Faktor Keempat adalah Kelemahan dalam Penegakan Hukum. Hukum yang tebang pilih telah mengoyak rasa keadilan masyarakat. Hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Terkesan, penegakan hukum kalah dengan kapital dan elite yang melindungi. Perlu gerakan nasional dalam penegakan hukum, khususnya untuk kejahatan extraordinary (luar biasa), seperti korupsi, narkoba, dan terorisme. Untuk terciptanya rasa aman, damai, dan rasa keadilan di masyarakat perlu terapi untuk tertib hukum dan tertib sipil dalam era masyarakat sipil (civil society) saat ini.
Faktor Kelima adalah Demokrasi Prosedural, dengan sistem one man one vote telah menghancurkan budaya demokrasi ala Indonesia yakni musyawarah dan mufakat. Dengan diamandemennya UUD 1945 di era Reformasi dan Undang-Undang Politik, Pemilu, serta Pilkada, terjadi perubahan sistem dan budaya politik di Indonesia.
Hal yang mendasar adalah tentang biaya Pemilu dan Pilkada yang menjadi besar. Tercatat, untuk Pilkada Tingkat II saja, kandidat butuh sekitar Rp30–50 miliar, Pilkada Tingkat I butuh Rp60–100 miliar, apalagi Pilpres, mencapai lebih dari Rp5 triliun yang harus dikeluarkan. Sebagai contoh, untuk biaya Saksi saja, jika satu TPS (Tempat Pemilihan Suara) dianggarkan Rp 200.000 per saksi, dikalikan perkiraan jumlah TPS dengan Pileg dan Pilpres yang akan dilaksanakan secara serempak, mencapai 780.000 TPS (tahun 2019), maka biaya saksi satu orang kandidat Presiden adalah Rp 1,560 triliun. Belum lagi biaya kampanye dan lainnya, Rp 5 triliun adalah angka perkiraan yang harus disediakan seorang calon Presiden RI, sehingga minimal uang Rp 5 triliun itu harus tersedia bagi seorang kandidat.
Faktor Keenam adalah Radikalisme, ini bisa karena ideologi, agama, yang berbuah konflik horizontal atau gerakan separatis. Radikalisme merongrong NKRI karena awalnya bersifat laten dan ketika menjadi besar sulit untuk dipadamkan.
Indonesia adalah ranking ke-61 dari 177 negara dalam Indeks Negara Gagal (Failed State), “wake-up call” yang dilontarkan Prabowo Subianto adalah peringatan agar pada tahun 2030, Indonesia tetap utuh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Public Disoriented dan public distrust (ketidakpercayaan publik) adalah musuh yang lain dari keutuhan NKRI, sebagai ekses lemahnya kepemimpinan nasional. Munculnya gerakan nasional ‘Ganti Presiden 2019’ adalah ekspresi wajar kepedulian rakyat terhadap negaranya. Sebab itu, jangan seorang Neno Warisman, yang dianggap pionir gerakan tersebut, dan menggalang ibu-ibu, “dicari-cari” kasus kriminalnya. Demikian juga tokoh nasional Amien Rais yang secara terbuka menyatakan dukungan terhadap gerakan nasional ‘Ganti Presiden 2019’.
Benar, jika Rizal Ramli menggugat di Indonesia Lawyer Club (ILC) TV One pada minggu lalu, bahwa kenapa rezim saat ini, begitu ada gerakan anti-pemerintah dari kelompok Islam langsung ditangkap? Justru sikap rezim seperti inilah yang memperburuk kohesi sosial kerena telah menyobek rasa keadilan masyarakat dan mudah diinfiltrasi oleh pihak asing.
Suka atau tidak suka, penggulingan Soeharto pada tahun 1998 (selain karena sudah waktunya) tidak lepas dari peran AS melalui IMF (International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional), melalui operasi moneter di Asia lewat operatornya, George Soros.
Indonesia terkena imbas paling parah. Hinga saat ini pun belum pulih, karena diikat oleh 50 butih LoI IMF, dan 20 tahun kita sudah merasakan pahitnya. Jangan lagi rezim ini melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengundang kembali IMF/Bank Dunia yang divonis negara-negara di dunia sebagai ‘Jurassic Institution’ karena telah gagal total menjalankan funginya. Utang Indonesia, defisit neraca perdagangan, defisit APBN, besarnya biaya infrastruktur dan macetnya kredit perbankan adalah gerbang masuk dan hadirnya kembali IMF dan Bank Dunia. Jelas, rakyat Indonesia harus menolak itu! Dipastikan, rezim akan jatuh jika IMF/Bank Dunia dijadikan solusi.
Kembali pada ekonomi berbasis konstitusi adalah komitmen dasar bagi seorang kandidat Presiden di tahun 2019 nanti, agar Indonesia tetap utuh sebagai NKRI, sehingga skenario ‘Ghost Fleet’ hanya tinggal menjadi cerita fiksi. []