
Konfrontasi - Pembangunan proyek kereta cepat atau High Speed Railway (HSR) rute Jakarta-Bandung yang masuk dalam investasi jangka panjang dipertanyakan keuntungannya. Ini dikarenakan, dalam proyek tersebut Indonesia dinilai tidak mendapatkan apa-apa kecuali kepastian untuk membayar tiket kereta cepat tersebut.
Pengamat ekonomi politik, Salamudin Daeng mengatakan, pembangunan kereta cepat ini lebih banyak membawa keuntungan bagi investor asing, yaitu investor dari China. Sementara Indonesia tidak akan mendapat keuntungan sedikit pun.
"Pada proyek tersebut pemerintah Indonesia melalui beberapa BUMN, diharuskan membayar seluruh biaya investasi tersebut mulai dari upah pekerja, biaya bahan seperti besi dan armada," ujar Salamudin dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (31/1/2016).
Ia menjelaskan, Indonesia nantinya hanya mendapatkan pemasukan dari penjualan tiket yang patokan harganya menggunakan rupiah.
"Jadi kita mendapatkan bayaran rupiah dari warga yang menggunakan kereta cepat untuk membayar utang investasi menggunakan dolar, tentu ini harus diwaspadai," katanya.
Salamudin memaparkan, pengerjaan proyek kereta cepat hanya membangkitkan usaha dalam negeri China, sebab seluruh komponen dibuat di negara tersebut. Mulai dari pembuatan besi untuk rel hingga teknologi keretanya. Dengan demikian Indonesia tidak mendapatkan apa apa.
"Hal ini yang harus diketahui oleh masyarakat Indonesia, bahwa ada sisi gelap dari proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung," kata dia.
Ia juga mempertanyakan pembangunan tersebut di jalur Jakarta-Bandung yang selama ini sudah ada moda transportasi yang memadai. Mulai dari kereta dan tol yang membuat waktu tempuh Jakarta-Bandung bisa lebih cepat.
"Harusnya jika memang ingin membangun infrastruktur kenapa tidak di lokasi yang belum tersentuh sama sekali misalnya jalur strategis jarak jauh Jakarta-Surabaya," ujar Salamudin.
Karpet Merah untuk Asing
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Budgeting Analysist (CBA), Ucok Sky Khadafi mengatakan, saat ini pemerintah sedang giat melakukan percepatan pembangunan infrastruktur. Namun percepatan tersebut bukan untuk masyarakat Indonesia namun lebih kepada kepentingan investor asing.
"Dengan kata lain pemerintah Indonesia memberikan karpet merah untuk investasi asing di Indonesia,"? kata Ucok
Hal ini terlihat dari proyek-proyek yang terus dikebut antara lain, bandara dan pelabuhan, yang mana keduanya merupakan syarat untuk memudahkan investor asing masuk.
Namun, menurut dia, dibalik ini semua ada upaya pemerintah untuk menyatukan seluruh BUMN yang ada termasuk BUMN konstruksi untuk berada di satu pintu menjadi holding. Tentu hal ini berbeda dengan keinginan pemerintah untuk membangun infrastruktur yang sedang digencarkan.
"Holding BUMN Konstruksi tidak sesuai rencana pemerintah dalam upaya pembangunan infrastruktur," ujar Ucok. (vv/mg)