
KONFRONTASI- AS dan China terus bersaing di Asia. Akhir tahun ini Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) mulai berjalan. Cina pasti senang karena rekan dagang terbesar Asean adalah dirinya. Tapi TPP siap mentorpedo.
Sampai sekarang belum jelas bagaimana nanti hubungan MEA dengan Trans-Pacific Partnership (TPP). Apakah TPP akan membuat Asean berpaling dari Cina demi sebuah pasar yang jauh lebih besar? Atau MEA akan dilanda perpecahan karena masih ada yang ingin melanjutkan bulan madu dengan Cina.
Bagi TPP, yang bakal beranggotakan 13 negara kalau Indonesia jadi ikut, siapapun yang memilih berada di luar dirinya harus siap menghadapi risiko kehilangan pasar di dan investasi dari hampir separuh erekonomian dunia. Maklum, sekitar 45% PDB dunia berada dalam genggaman TPP.
Kedahsyatan TPP juga tak lepas dari kenyataan bahwa 4 – Mexico, Korea Selatan, Australia, Amerika Serikat, dan Kanada – dari 20 negara dengan perekonomian terkuat di dunia G20 telah menjadi anggotanya. Dengan demikian tak hanya di bidang ekonomi, kekuatan diplomatik dan militer TPP juga jauh lebih dahsyat ketimbang MEA.
Lihat saja, bila kekuatan ekonomi ASEAN dan Cina digabung sekalipun, masih jauh di bawah TPP. Bahkan lebih kecil dibandingkan Amerika Serikat seorang diri. Tahun ini PDB negara super tersebut berada pada kisaran US$ 17.968 miliar. Sedangkan gabungan PDB Cina dan Asean hanya sekitar US$ 13.880 miliar.
Kenyataan tersebut tentu bisa membuat siapapun berfikir berkali-kali untuk tak menjadi bagian dari TPP kecuali mantan presidn SBY, yang pernah memilih membesarkan perekonomian MEA agar menjadi kekuatan dunia, yang setara dengan blok-blok ekonomi lain. SBY tampaknya berharap MEA bisa menjadi Uni Eropa kecil di Asia, sebelum berkembang lebih lanjut menjadi sebuah blok Asia Timur.
SBY mungkin masih kasmaran pada gagasan mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad membentuk East Asia Economic Caucus (EAEC) untuk mengimbangi persekutuan ekonomi Barat. Gagasan ini ditentang keras oleh Amerika Serikat karena bisa menganggu kepentingannya di Pasifik, dan telah bermutasi menjadi East Asia Economic Group sesuai dengan petunjuk Washington.
Kini, suka atau tidak, kehadiran TPP telah membentuk sebuah sebuah tata ekonomi baru dunia. Uniknya, dalam TPP negara-negara paling maju dan terkaya di dunia berdampingan dengan yang sedang berkembang, yang bahkan untuk menghadapi MEA saja masih tak yakin mampu. Negara-negara ini adalah Filipina, Vietnam, dan Indonesia (kalau jadi bergabung).
Inilah mengapa, susara-suara sumbang sudah mulai bermunculan terhadap keputusan Jokowi untuk masuk TPP. Salah satunya dari politisis senior Gerindra Fadli Zon, yang menganggap keputusan tersebut terburu-buru dan tidak dikaji dengan serius. Seperti para penentang TPP lainnya, Fadli khawatir bahwa di dalam TPP akan terjadi eksploitasi oleh negara maju terhadap berkembang sebagaimana terjadi di era kolonial.
Para penentang tersebut mengingatkan pada penjajahan Vietnam oleh Perancis, Filipina oleh Spanyol, dan Indonesia oleh Belanda. Di era ini, sebagian besar nilai tambah ekonomi dinikmati oleh penjajah. Pihak terjajah hanya dijadikan kuli kasar atau antek penjajah untuk membuat bangsanya sendiri tetap bodoh dan tak memiliki kehormatan.
Namun wakil presiden Jusuf Kalla beranggapan bahwa TPP adalah peluang untuk meningkatkan ekspor dan kepercayaan dari investor. Para pendukung TPP seperti Kalla pada umumnya mengacu pada North America Free Trade Area (NAFTA), yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, dan Mexico; dan Uni Eropa, yang sebagian anggotanya adalah mantan negara komunis. Di kedua blok ekonomi ini, meski masih banyak masalah, yang lebih terbelakang merasakan lebih banyak manfaat sehingga tak ada yang ingin melepaskan diri.
Terlepas dari soal apakah Indonesia nanti akan bergabung dengan TPP atau tidak, yang pasti perdebatan akan terus memanas. Ini mungkin sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sebagai ahli debat dan gontok-gontokan, bukan bekerja.
(indonesianreview/konfrontasi)