KONFORNTASI- Ini kisah sedih kita. Diam-diam, pengembang properti asal China sudah masuk ke Indonesia. Satu diantaranya adalah Kingland Group yang mengembangkan proyek Kingland Avenue tahun ini. Grup pengembang ini telah menguasai lahan seluas 200 hektar di Indonesia. Semestinya negara kuasai lahan dan tidak boleh jadi milik swasta, sebab sesuai konstitusi semua lahan milik negara, tidak boleh dikuasai segelintir orang. Di MAlaysia, seluruh lahan milik negara. Indonesia harus seperti Malaysia, apalagi UUD45 menolak kapitalisne neoliberal
Kingland Avenue merupakan proyek mixed use apartemen berlokasi di Jalan Raya Serpong, Tangerang Selatan.
Chief Marketing Officer Kingland Group, Jiko Tandijono mengatakan, lahan tersebut tersebar di Cibubur, Jakarta Timur dan Cinere, Depok, serta beberapa kawasan lainnya di Jabodetabek.
"Itu merupakan cadangan lahan (land bank) kami untuk dikembangkan sebagai properti-properti dengan nilai investasi menarik," tutur Jiko. Rabu (17/2/2016).
Jiko menjelaskan, Kingland Group berencana memanfaatkan lahan tersebut untuk dikembangkan sebagai town houses (rumah bandar), dan juga rumah vertikal.
"Itu dengan catatan, jika proyek perdana Kingland Avenue Serpong sukses terjual. Jadi, kami akan fokus dahulu pada proyek ini sebelum membangun proyek berikutnya," imbuh Jiko.
Kingland Avenue merupakan proyek apartemen di Serpong, Tangerang Selatan. Menempati area seluas 2,2 hektar, akan dikembangkan empat menara apartemen sebanyak 2.200 unit dan satu menara small office home office (SOHO).
Selama masa promosi, unit-unit apartemen ini dipatok dengan harga jual Rp 14,6 juta per meter persegi.
Jika ukuran apartemen terkecilnya 41 meter persegi, maka konsumen harus merogoh kocek senilai Rp 600 jutaan, di luar PPN.
Harga ini, kata Jiko, terbilang kompetitif. Pasalnya, pesaing mereka di kawasan yang sama membanderol harga jual mulai dari Rp 20 juta meter persegi hingga Rp 25 juta meter persegi.
Kingland Avenue akan dipasarkan secara resmi pada Mei 2016 dan dibangun pada kuartal pertama 2017.
"Targetnya, mulai 2019 akan diserahterimakan kepada konsumen. Saat itu, nilai proyek akan mencapai sekitar Rp 3 triliun," tandas Jiko seraya menambahkan dana internal perusahaan menjadi andalan dalam membangun proyek ini.
Diam-diam sebuah konsorsium investor Cina, Malaysia, dan Indonesia berencana mengadakan investasi besar-besaran di sektor pertanian di Subang, Jawa Barat.
Rencana ini diungkapkan oleh Kepala Sub-Direktorat Optimalisasi Rehabilitasi dan Konservasi Direktorat Jenderal Sumber Daya Kementerian Pertanian, M. Husni, Rabu, 28 Agustus 2013.
Menurut Husni, sebuah perusahaan dari Cina bernama Liaoning Wufeng Agricultural bekerja sama dengan PT Amarat dari Malaysia dan PT Tri Indah Mandiri berencana mengembangkan pertanian terpadu di Subang. "Mereka akan menginvestasikan dananya sebesar Rp 20 triliun, mulai November 2013," kata Husni kepada Tempo, 28 Agustus 2013.
Menurut dia, investasi dilakukan dengan cara melakukan kerja sama dengan para petani di Subang, dengan sasaran area sawah yang mereka garap seluas 50 ribu hektare. "Para petani dijanjikan diberikan kemudahan dalam pengadaan bibit, sarana produksi pertanian, peralatan, hingga produksi pascapanen," ujarnya.
Namun, lanjut Husni, rencana tersebut tak pernah dilaporkan ke kantor Kementerian Pertanian. Karena itu, institusinya memantau lewat pemberitaan media massa. "Kalau mereka datang ke Kementan, pasti kami tolak," ujarnya.
Husni menjelaskan, investasi di bidang pangan di Indonesia tidak diharamkan. Tetapi, pemerintah telah membuat jejaring aturan seketat mungkin, termasuk soal kepemilikan lahan. "Paling banter mereka hanya bisa menggunakan lahan dengan status hak guna pakai," ucap Husni. "Makanya, mereka mengakalinya dengan bekerja sama dengan petani."
Karena itu, dia meminta Pemerintah Kabupaten Subang dengan segala kewenangan otonomi daerahnya bisa mencegah langkah besar, yang masih rahasia, yang akan dilakukan konsorsium pangan asal Cina, Malaysia, dan perusahaan dalam negeri tersebut.
Husni juga mencurigai ihwal produksi beras yang akan dihasilkannya kelak. "Jangan-jangan beras yang dihimpun dari petani langsung diekspor. Kalau itu terjadi, celaka kita," kata dia.
Kepala Bidang Sumber Daya Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang, Hendrawan, mengaku belum mengetahui rencana besar investasi di bidang pangan yang akan dilakukan gabungan perusahaan tiga negara tersebut. "Membaca konsepnya, rasa-rasanya kami harus menolak kehadiran para investor itu karena akan membahayakan iklim pertanian di Subang dan nasional," kata dia.
Menurut dia, jika betul investor gabungan itu akan melakukan kerja sama dengan menguasai 50 ribu hektare area persawahan milik petani Subang, berarti lahan yang kelak murni digarap petani hanya tersisa 27 ribuan hektare. "Lahan abadi pertanian di Subang itu hanya 77.529 hektare," kata Hendrawan.
Yang paling berbahaya, lanjut dia, jika beras hasil produksi sawah yang dikerjasamakan dengan petani itu dijual ke luar negeri. "Lalu, rakyat Subang mau makan apa?" ujarnya.
(KCM/Tmpo)