Quantcast
Channel: Kakek
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1275

Laut China Selatan Memanas,Rakyat China Marah? ASEAN Harus Berani Hadapi RRC

$
0
0

KONFRONTASI-China, Kamis (14/7/2016) mengeluarkan protes resmi setelah Australia mengumumkan akan terus menggunakan haknya untuk kebebasan berlayar dan terbang di Laut China Selatan.

 

Pernyataan Australia itu muncul setelah putusan Mahmakah Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Belanda, Selasa (12/7/2016).

PCA menyimpulkan, China tidak memiliki pengakuan bersejarah pada perairan Laut China Selatan dan juga telah terjadi pelanggaran atas hak ekonomi dan kedaulatan Filipina.

China menolak keputusan PCA itu, setelah menolak berperan serta dalam perkara tersebut dan mengatakan pengadilan itu tidak memiliki kewenangan.

Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, mendesak semua negara terkait di Laut Cina Selatan menyelesaikan sengketa mereka secara damai.

Bishop juga mengatakan, Australia akan tetap menerapkan hak internasionalnya untuk kebebasan berlayar dan mendukung hak pihak lain untuk melakukan hal sama.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, mengatakan, China secara resmi memprotes "komentar salah" Australia.

Lu juga mengatakan, China berharap Australia tidak melakukan apa pun untuk membahayakan perdamaian dan ketenangan kawasan itu. "Jujur, saya sedikit terkejut mendengar komentar Bishop," katanya.

Australia, kata Lu, harus bergabung dengan mayoritas masyarakat internasional untuk tidak menilai hasil "keputusan ilegal" dari kasus hukum internasional.

"Kami berharap Australia dapat mengikuti hukum internasional dan tidak memperlakukannya sebagai permainan," kata Lu yang menambahkan, China menghormati kebebasan berlayar dan sesuai dengan hukum internasional.

Sekalipun China dan Australia memiliki hubungan niaga, yang dekat, termasuk perjanjian perdagangan bebas, Canberra juga adalah sekutu kuat keamanan Amerika Serikat.

Bishop mengatakan kepada radio ABC, Rabu (13/7/2016), bahwa reputasi China akan terdampak putusan pengadilan.

BBC Menlu Australia Julie Bishop.

Dia bersikeras, hubungan dengan masyarakat internasional penting untuk kebangkitannya sebagai negara adidaya.

"Untuk mengabaikan itu akan menjadi pelanggaran serius internasional," kata Bishop.

Saat ditanya pada Kamis oleh wartawan tentang pesan Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk menterinya dalam rapat kabinet segera setelah putusan itu disampaikan pada Selasa, Menteri Keuangan Benjamin Dioko menjawab dengan mengutip Duterte.

"Mari kita murah hati dalam kemenangan. Mari kita tidak melakukan apa-apa. Mereka sudah terusik dan Anda mengejek mereka lagi. Sangat sulit untuk menegakkan keputusan itu,” katanya.

“Bagaimana Anda menegakkan itu? Namun dia mengatakan kita akan memulai pembicaraan bilateral dan sekarang kami mulai dari posisi yang lebih baik. Karena keputusan itu kami berada di tempat yang lebih baik," tambahnya.

China mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan, tempat perdagangan senilai lebih dari 5 triliun dolar bergerak setiap tahun.

Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam memiliki klaim sama atas wilayah itu.

Rakyat China 'sangat marah' atas keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Belanda,  yang menyatakan klaim China di Laut Cina Selatan tak memiliki landasan hukum.

Pengamat politik di Beijing, Xu Liping, yang mengikuti reaksi warga China melalui surat kabar dan media sosial, mengungkapkan hal itu pada Kamis (14/7/2016).

"Rakyat biasa sangat marah dan menganggap putusan pengadilan di Belanda sebagai ancaman terhadap kedaulatan China di Laut Cina Selatan," kata Xu.

Pantauan di WeChat, salah satu aplikasi pesan yang populer, memperlihatkan desakan kepada pemerintah untuk melakukan konfrontasi.

"Beri saya senjata," kata seorang pengguna WeChat, seperti dilaporkan BBC Indonesia.

Kasus klaim teritorial ini diajukan oleh pemerintah Filipina, yang membuat muncul desakan di China agar China memboikot mangga dari Filipina.

Xu menjelaskan kemarahan dan frustrasi rakyat juga diarahkan ke Amerika Serikat dan Jepang.

"Warga di sini menganggap keputusahan PCA di Belanda dipengaruhi oleh AS dan Jepang," kata Xu.

Menurut Xu, di China semua orang menganggap bahwa China memiliki hak kedaulatan di Laut Cina Selatan dan hal ini dikatakan secara jelas kepada murid-murid SMP dan SMA.

"Dan sekarang ada keputusan mahkamah bahwa China tak punya kedaulatan wilayah di Laut China Selatan. Keputusan ini tak bisa diterima oleh rakyat China. Rakyat menolak keputusan tersebut," katanya.

Namun, sebenarnya masalah Laut China Selatan tidak hanya antara  China dan Filipina, tetapi empat negara lain juga mengklaim atas wilayah yang sama, yakni Vietnam, Brunei, Malaysia, dan Taiwan.

Pada Rabu (13/7/2016), Taiwan bahkan telah mengirim kapal perangnya untuk melakukan patroli di sekitar pulau yang diklaimnya di Kepulauan Spratly, Laut China Selatan. 

The Daily Signal Mantan Presiden Filipina, Fidel Ramos, diutus oleh Presiden Filipinan Rodrigo Duterte ke Beijing, China, untuk memulihkan hubungan terkait meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan pasca putusan Mahkamah Arbitrase Internasional, Juli 2016.

Sementara itu kantor berita Agence France-Presse melaporkan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte,  Kamis (14/7/2016), mengatakan, dia akan mengirim untusan seniornya untuk bertemu dengan diplomat China guna membahas konflik di Laut China Selatan.

Utusan seniornya itu adalah mantan Presiden  Fidel Ramos  untuk melakukan pembicaraan bilateral dengan Beijing.

Duterte  meminta Ramos "pergi ke China untuk memulai pembicaraan" dengan Beijing setelah putusan pengadilan yang didukung PBB yang menguntungkan Filipina.

"Perang ... bukanlah pilihan. Jadi apakah adalah jalan lain? Perundingan damai. Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang," kata Duterte.

"Saya harus berkonsultasi banyak orang, termasuk mantan Presiden Ramos. Saya dengan hormat memintanya untuk pergi ke China dan memulai pembicaraan," kata Duterte.

Mengutip BBC, melalui pernyataan resmi yang dirilis Departemen Luar Negeri Filipina, Yasay akan mengangkat soal putusan Mahkamah Arbitrase saat bertemu dengan delegasi China dalam pertemuan Asia-Eropa (ASEM) di Mongolia, akhir pekan ini.

Menurut Deplu Filipina, diskusi itu akan membahas pendekatan damai dan berbasis aturan yang ditempuh Filipina terkait Laut Cina Selatan sesuai konteks agenda ASEM dan perlunya berbagai pihak menghormati putusan terkini.

Pertemuan ASEM yang dihadiri Perdana Menteri China Li Keqiang dan berbagai delegasi dari Asia Tenggara itu digelar di ibu kota Mongolia, Ulanbaatar, selama dua hari mulai Jumat besok (15/7/2016).

Menanggapi pernyataan Menlu Filipina mengenai rencana diskusi soal putusan Mahkamah Arbitrase, pemerintah China mengatakan pertemuan di Mongolia bukanlah tempat yang cocok untuk mendiskusikan masalah tersebut.

"Seharusnya hal itu tidak ditaruh dalam agenda," kata Asisten Menlu China, Kong Xuanyou, kepada kantor berita Reuters.

Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda pada hari Selasa (12/7/2016) memenangkan gugatan yang diajukan Filipina.

Disebutkan bahwa klaim historis China di Laut Cina Selatan tak memiliki landasan hukum dan pengadilan tinggi internasional itu juga menyatakan bahwa reklamasi pulau yang dilakukan China di perairan ini tidak memberi hak apa pun kepada pemerintah China. [ikh]

  
Category: 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1275