
KONFRONTASI-Pertemuan antara Presiden Cina Xi Jinping dengan Presiden Taiwan Ma Ying-jeouyang dicukongi dan digelar di Singapura, Sabtu (7/11) besok, tidak saja akan menandai babak baru hubungan kedua Cina. Pertemuan yang dinilai kian mendekatkan kemungkinan bersatunya kembali kedua Cina itu, mau tak mau akan memengaruhi konstalasi politik global.
Pertemuan tersebut tak pelak merupakan even diplomatik paling penting bagi kedua negara. Tidak hanya karena setelah berdirinya Taiwan pada 1949 dan menjadi duri dalam daging posisi RRC (Cina daratan) dalam peta politik internasional, pimpinan kedua Cina itu pun tak pernah lagi bertemu.
Yang ada, selama dasa warsa 1950-an, Cina daratan yang tengah dikuasai Partai Komunis Cina (Kuo Can Tang) pimpinan Mao Zedong, berkali-kali berupaya mengambil-alih Taiwan. Bagi RRC, Taiwan tak ubahnya sekadar provinsi yang memberontak. Mao hanya berhenti dari usahanya itu setelah Cina harus memusatkan perhatian dan membantu Korea Utara yang pada 1953 itu mulai terdesak kekuatan Selatan dengan sekutu Amerika Serikatnya. Tak tanggung-tanggung, saat itu Mao mengerahkan hampir satu juga personel Tentara Merah (People Liberation Army/PLA) untuk membantu sekutu yang tengah keteteran tersebut. Setelah itulah, hubungan RRC-Taiwan terus berada dalam kondisi perang dingin.
Setelah Den Xiaoping memimpin RRC, arah kebijakan luar negeri Cina pun berubah. Upaya reunifikasi RRC-Taiwan memang terus dilakukan, tetapi pendekatannya jauh berbeda. Pada awal era Deng, yakni akhir 1978, Beijing meninggalkan kebijakan untuk mengambil alih Taiwan melalui kekerasan. Terbentuklah suatu kebijaksanaan baru, yang sebagaimana ditulis Michal Roberge, and YoukyungLee, sebuah Peacefull Reunification, dengan kebijakan Satu Negara, Dua Sistem (one country, two system.)
Secara bertahap, hubungan dengan Taiwan pun dibuka. Pada 30 September 1981, Ketua Parlemen RRC Ye Yiajinmengumumkan sembilan proposal untuk mengatasi permasalahan Taiwan, yang dikenal sebagai Inisiatif Beijing. Di antara kesembilan proposal tersebut adalah kebebasan perdagangan, otonomi dan hak membentuk angkatan bersenjata, serta kemungkinan dukungan keuangan bagi Taiwan sebagai provinsi RRC. Meski inisiaf ini belum diterima Taiwan, bukan berarti tak ada upaya yang berhasil.
Paling tidak, mulai 1987 pemerintah Taiwan mulai memperbolehkan rakyatnya untuk berkunjung ke Cina. Hubungan Perdagangan mulai terjalin.Hasilnya, selama 1987-1991jumlah ekspor Taiwanke Cina meningkat sebesar enam kali lipat, yakni dari 1,2 miliar dolar AS menjadi 6,9 miliar dolar AS. Jumlah itu meningkat terus. Bahkan di saat kawasan lain dilanda krisis, pada kurun 1997-1999, besaran perdagangan diantara kedua Cina itu menclok di angka 21,2 miliar dolar AS.
RRC memang memandang penyatuan Taiwan sebagai harga mati yang harus diperjuangkan. Hal yang sedikit berbeda dengan Taiwan yang selama ini umumnya cenderung menghendaki 'status-quo'. Umumnya pemimpin Taiwan selalu mengedepankan alasan untuk bertanya kepada rakyat melalui referendum untuk putusan sepenting itu.
Dua tahun terakhir upaya RRC itu kembali menguat. Paling tidak, pada 25 Februari 2013 lalu terjadi pertemuan antara (saat itu ) Sekjen Partai Komunis China Xi Jinping dengan Ketua Partai Nasionalis Kehormatan Taiwan Lien Chan di Balai Agung Rakyat Beijing. Saat itu, tanpa tedeng aling-aling, Xin Jinping menegaskan kembali rencana penyatuan kembali (reunifikasi) dengan Taiwan di bawah pemerintahannya sebagai presiden baru negeri tirai bambuitu.
Tidak ada komentar signifikan dari Lien Chan untuk menanggapi desakan Xi saat itu. Hanya saja, saat itu pun Lien mengatakan, ada 18 perjanjian yang telah ditandatangani pemerintah Tiongkok dengan Taiwan.Namun menurutnya, dalam empat tahun terakhir, isu-isu inti dari 18 perjanjian itu nyaris tak tersentuh akibat ketegangan hubungan politik kedua negara.
Yang menarik, belakangan justru pihak Taiwan yang seperti ngebet untuk membicarakan soal itu. Paling tidak, hal itu ditampakkan oleh Presiden Taiwan Ma Ying-jeou. Kantor Berita Jepang, Kyodo News Agency, menulis Presiden Ma sebenarnya pernah berusaha bertemu Xi Jinping di Forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Sebaliknya, entah mengapa, saat itu Beijing tidak menanggapi karena RRC memandang Taiwan sebagai provinsi yang membangkang. Kesediaan RRC bertemu pemimpin Taiwan hanya akan dianggap sebagai 'pengakuan' Beijing terhadap eksistensi negara Taiwan.
Kini, meski belum apa-apa pihak Taiwan sudah menyatakan ," Presiden Ma tidak akan menanda-tangani kesepakatan atau mengeluarkan pernyataan bersama," tetap saja isu reunifikasi adalah hal yang paling mengemuka. Sekali lagi, karena bagi RRC penyatuan dua Cina adalah harga mati, tak mungkin mereka bersedia bertemu pimpinan Taiwan tanpa ada pembicaraan ke arah itu.
Persoalannya kini, apa yang akan terjadi bila penyatuan kembali itu kian menunjukkan kepastian terjadi? Sukar untuk menolak kemungkinan besar terjadinya perubahan geopolitik di Asia. Bagaimana tidak, bila negara sebesar RRC, yang mengalami kenaikan perekonomian secara pesat bergabung dengan negara yang juga tangguh secara ekonomi.
Kita tahu, Taiwan adalah negara maju dan makmur. Sementara kemajuan ekonomi RRC pun mengundang decak kagum. Bagaimana tidak, bila Inggris butuh 58 tahun untuk melipatgandakan PDB-nya sejak 1780; AS perlu 74 tahun mulai 1839; Jepang melipatgandakan PDB-nya selama 34 tahun mulai 1885; Korea Selatan dengan menakjubkan melakukan itu selama 11 tahun sejak 1966; RRC hanya perlu 9 tahun sejak 1978!
Penyatuan dua raksasa itu tentu menakutkan, terutama buat AS yang punya banyak kepentingan di Asia. Bukan tidak mungkin, negara-negara yang selama ini menjadi sekutu AS, berpaling dan melirik RRC sebagai patron baru.
Setidaknya kita bisa mencurigai maksud Singapura yang menyediakan diri menjadi ajang pertemuan. Memang, selama ini negara kecil itu mengikatkan pertahanan negaranya kepada Armada Ketujuh AS. Sejak awal tahun ini saja, ada empat kapal perang ASyang ditempatkan di Singapura untuk menjaga kepentingan AS di Asia pasifik. "Kami akan menempatkan setidaknya empatLittoral Combat Ship (LCS) di Singapura," kata Laksamana Charles Williams, komandan Satuan Tugas Ketujuh Armada 73, berbicara kepada wartawan di atas kapal USS Fort Worth, Februari lalu, sebagaimana dikutip Asiaone. Apalagi pada 2012 lalu, Sekretaris Menteri Pertahanan AS Leon Panetta mengumumkan bahwa Washington akan menggeser sebagian besar armada angkatan lautnya ke Pasifik pada tahun 2020 sebagai bagian dari fokus strategis baru di Asia.
Namun, jangan lupa bahwa rasa primordial kalangan Cina perantauan (overseas Chinesse) kepada negeri leluhurnya itu begitu besar. Pemimpin Singapura dan sebagaian besar warga negara tersebut, kita tahu adalah bagian dari kalangan tersebut. Mungkin saja, kesediaan menggelar pertemuan dua Cina pun tak lepas dari mengintip peluang bila penyatuan tersebut terjadi.
Yang juga tak boleh dipandang sebelah mata adalah kemungkinan bergabungnya Korea (kedua Korea) ke dalam aliansi strategis baru tersebut. Kita tahu, meski secara formal hubungan keduanya di masa lalu adalah hubungan penjajah dengan negeri jajahan, sejak lama relasi antara Korea dan Cina begitu erat. Sementara Jepang cenderung mendekat ke AS, Korea yang memiliki sentiment tertentu dengan Jepang, sangat mungkin akan mendekat ke Cina yang kian menguat, apalagi setelah reunifikasi.
Kita belum melihat bagaimana AS (akan) bereaksi melihat perkembangan terkini.
Sejarah relasi Beijing dan Taipeh sedang berubah. Untuk pertama kali Presiden Taiwan Ma Ying-jeou akan bertemu Presiden China Xi Jinping di Singapura, Sabtu (7/11/2015). Ini merupakan dialog dan pertemuan pertama bersejarah antara pemimpin kedua negara, setelah sekian lama bersitegang karena ragam perbedaan dan benturan kepentingan.
Sejauh ini hubungan antarkedua negara sudah berjalan relatif baik, meski tidak mesra. Sejak 2002, China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi Taiwan. Hubungan perdagangan kedua pihak selama 2006 naik 15,4% menjadi US$88,12 miliar. Adanya kultur guangxi (jaringan sosial) dalam peradaban China yang begitu kuat, memungkinkan hubungan China dan Taiwan lebih berpeluang untuk membaik, bahkan sangat mungkin Taiwan dan China bersatu kembali dengan model Satu China Dua Sistem ala Hongkong, yang bakal mewarnai Abad Asia.
Bagaimanapun isu kemerdekaan Taiwan makin melumer tatkala pendekatan kultural China dan Taiwan dibangun kembali secara intensif. Abad Asia untuk sebagian ditentukan oleh keberhasilan modernisasi, stabilitas, perdamaian dan pembangunan di China, selain India, Jepang, Korsel dan ASEAN.
Dalam tataran budaya, Pemerintah China tidak pernah menutup pintu bagi warga Taiwan yang ingin berkunjung ke tanah leluhur, demikian juga sebaliknya. Jadi dalam level ekonomi atau kebudayaan, seolah tidak pernah ada konflik keduaanya.
Di masa lalu China mengklaim kedaulatan atas Taiwan sejak 1949, ketika pemerintah nasionalis melarikan diri ke pulau itu setelah kalah oleh komunis. Pemerintah China mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya dan mengancam akan menumpas setiap gerakan kemerdekaan dengan kekuatan militer. Sejak berakhirnya Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet awal 1990-an, ketegangan politik antara China dan Taiwan tetap menjadi isu panas dan serius di level mondial atau secara khusus di kawasan Asia Timur.
Namun, pertalian dua negara yang terpisah selat itu membaik sejak Presiden Ma menjabat pada 2008.
Ahli China Tomy Su mencatat bahwa kalau kita membuka lembaran sejarah, konflik China-Taiwan merupakan warisan lama. Seperti diketahui pada 1912, Republik China berdiri dengan Ibu Kota Nanjing, menyusul revolusi yang dilancarkan Dr Sun Yat-sen dengan Kuomintang-nya yang menjatuhkan pemerintahan Dinasti Qing.
Lalu, 1 Oktober 1949 Mao Tse-Tung memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China menggantikan Republik China yang diproklamasikan pada 1912 dan menyatakan Taiwan sebagai provinsi di dalam RRC. Chiang Kai-shek yang mundur ke Taiwan tidak mengakui klaim itu. Masing-masing pihak mengklaim seluruh China sebagai wilayahnya.
Hingga 1970, posisi Taiwan di dunia internasional masih kuat, apalagi tren global yang dikomandani AS amat antikomunis. Namun, menyusul kunjungan Presiden Nixon ke Beijing pada 1971, AS mengalihkan pengakuan diplomatiknya dari Taipei ke Beijing sehingga posisi RRC yang komunis itu menguat. Sedangkan pengaruh Taiwan di dunia terus menyusut.
Seperti dicatat Tomy Su, maka, kini bagi Ma, China-Taiwan lebih baik bekerja sama, mengingat keduanya mewarisi filosofi, tradisi, dan nilai kebudayaan yang sama. Sejak kecil Ma, yang kelahiran Hongkong amat doyan ajaran dan filosofi para filsuf klasik China, seperti Lao Tse, yang begitu menekankan pentingnya harmoni dalam kehidupan.
Namun, upaya Ma Ying-jeou menjalin kerja sama dalam harmoni dengan China daratan membuat sebagian kecil warga Taiwan diliputi kecemasan. Yang ditakutkan, para pelaku ekonomi asal China akan kembali menguasai Taiwan lewat jalur ekonomi. Tetapi Ma menjamin dia tidak akan menggadaikan Taiwan. Ma hanya yakin jika China dan Taiwan bisa bermitra secara sejajar, otomatis martabat Taiwan akan terangkat dengan sendirinya di mata dunia internasional. Pembukaan rute penerbangan langsung China-Taiwan merupakan realisasi janji Ma yang agaknya sudah muak dengan segala hal yang bersifat politik terkait relasi China-Taiwan. Agaknya Ma belajar banyak dari presiden yang digantikan, Chen Shui-bian.
Menurut Ma Ying-jeou atau akrab dipanggil Ma, normalisasi hubungan ekonomi dan budaya antara China dan Taiwan merupakan solusi paling masuk akal dan sama-sama menguntungkan. Konflik atau ketegangan politik terbukti tak pernah memberikan kontribusi apa pun.
Dengan demikian, pertemuan pemimoin China dan Taiwan di Singapura hari-hari ini, merupakan batu sejarah bagi tonggak hubungan baru Beijing dan Taipeh yang lebih baik, dan implikasinya bagi perdamaian dan stabilitas di Asia, tentu terasa. Apakah ini tanda-tanda makin menguatnya pergeseran dari Abad Atlantik ke Abad Asia karena keberhasilan modernisasi ekonomi dan sosial di Asia? Ataukah rujuknya China-Taiwan sekadar menguatkan kepentingan China daratan dan diaspora China perantauan untuk kepentingan mereka semata karena ikatan nilai-nilai leluhur dan tradisi yang sangat tua?
Tentunya, harapan rakyat Asia dalah China berbagi kemakmuran bersama di Asia, bukan jadi predator dan negara tamak yang hanya menghisap sumber daya ekonomi masyarakat Asia. Dan melakukan hegemoni ala China, yang hanya menimbulkan frustasi, kejengkelan dan dendam lama bangsa-bangsa Asia untuk kembali menoleh ke Barat, sekutu jauh yang tak lebih beradab, namun lebih maju dan kaya ilmu dan teknologi. [yha]