
KONRONTASI- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan bukan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara penganut dwi-kewarganegaraan. Namun Menko Polhukam harus sadar bahwa Presiden soekarno dan Presiden Soeharto menolak UU Dwi Kewarganeraan karena bakal banjir etnis China Tiongkok ke Indonesia yang bakal membuat kaum bumiputera tergilas, kaum Muslim , Kristiani dan agama lain pun tertindas.
"Tidak bisa serta-merta, enggak bisa kemudian ada perubahan UU menjadi dwi-kewarganegaraan," ujar Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan pada Kamis (18/8/2016).
Menurut Wiranto, perubahan prinsip warga negara tunggal menjadi warga negara ganda bukan perkara mudah. Perubahan itu pasti melalui proses panjang, penuh debat, sekaligus penuh pertimbangan yang matang.
Sebab, prinsip kewarganegaraan tunggal yang telah dianut Indonesia melalui proses historis panjang dan dalam. Bahkan, menurut Wiranto, ada momen bersejarah yang menyakitkan.
"Kalau kita tidak hati-hati, nanti justru menjadi bumerang. Kita ini beda dengan Amerika Serikat dan Eropa," ujar Wiranto.
Meski UU itu saat ini memang akan direvisi, tetapi Wiranto meminta polemik yang muncul tak melampaui apa yang sedang dibahas. Wiranto meminta publik membiarkan pemerintah serta DPR RI membahas revisi UU tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Jika dalam pembahasan itu dinilai banyak ruginya, Wiranto mengatakan, revisi itu akan dibatalkan.
"Kita tidak usah mendahului, biar digarap dululah, untung ruginya bagaimana, kalau banyak ruginya ya tidak akan kita lakukan," ujar Wiranto
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham menilai perlu ada kajian terkait regulasi yang mengatur soal kewarganegaraan. Perlu ada kajian apakah sistem kewarganegaraan di Indonesia sudah pada format ideal atau belum.
Namun, hal tersebut bukan berarti pihaknya mendorong agar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan perlu direvisi.
"Perlu ada kajian akademik kan. Tidak serta merta sebagai respons, reaksi terhadap kasus. Kita harus berpikir lebih jauh ke depan. Apakah ini merupakan format ideal atau belum," kata Idrus di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Rabu (17/8/2016).
"Kalau belum mari kita lakukan kajian akademik dan itu jadi dasar dalam menentukan kebijakan politik kita," ujarnya.
Ke depannya, Golkar pun berencana menginstruksikan fraksinya di DPR agar melakukan kajian tersebut. "Pasti (diinstruksikan), nanti," tutur Idrus.
Kasus Arcandra, lanjut dia, seharusnya uga dipandang secara positif bahwa banyak anak bangsa di luar negeri yang memiliki kemampuan luar biasa dan seharusnya bisa ditarik lagi ke dalam negeri.
"Tapi dengan catatan, jangan sampai terjadi lagi seperti Arcandra," ucapnya.
Senada dengan Idrus, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sebelumnya mengusulkan agar Presiden Joko Widodo mendorong dan merintis revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
(Baca: Polemik Dwi-kewarganegaraan, Fahri Hamzah Usulkan Presiden Rintis Revisi UU)
Fahri melihat ada banyak warga negara Indonesia yang tersebar di seluruh dunia dan memiliki keahlian khusus, seperti Arcandra, namun terbentur dwi-kewarganegaraan.
Kendala itu mengakibatkan mereka kesulitan untuk berkontribusi bagi tanah air. (Baca juga: Fahri Hamzah Minta Presiden Jokowi Tak Lepas Tangan soal Arcandra Tahar)
.(KCM)